www.rumahguru.info
Post Power Syndrome
Post power syndrome banyak dialami oleh mereka yang baru saja menjalani masa pensiun. Arti dari syndrome itu adalah kumpulan gejala. Power adalah kekuatan. Jadi, Post Power syndrome adalah gejala-gejala pasca/ setelah kekuasaan. [1]Lebih jauh Kartini Kartono menjelaskan bahwa Post Power Syndrome adalah gejala yang terjadi dimana penderita hidup dalam bayang-bayang masa lalunya (karir, kecantikan, kecerdasannya, dan hal lain) dan seakan-akan tidak bisa memandang realita saat ini. [2]
Post Power Syndrome atau syndrome
pasca kekuasaan adalah gejala yang berupa gangguan perasaan, perilaku
somatic serta muncul kelhan-keluhan psikososial dalam bentuk ucapan maupun
sikap dan perilaku suka memberi kritikan, perasaan curiga, merasa diperlakukan
tidak adil, tertekan, putus asa dan suka ngomel-ngomel yang dilakukan secara
berulang, merupakan beberapa karakteristik yang ditunjukan oleh individu yang
mengalami post power syndrome. Sindrome ini biasanya dialami oleh pegawai
pemerintah yang telah pensiun atau mengalami perubahan dari pekerjaan
(Prawitasari, 2002:49).[3]
Gejala dilihat 3 ranah yaitu [4]
1.Fisik misalnya tampak kuyu, terlihatlebihtua, tubuhlebihlemah,
sakit-sakitan.
2.Emosi mudahtersinggung, pemurung, senang menarik diri dari
pergaulan, atau sebaliknya cepat marah untuk hal-hal kecil, tak suka disaingi
dan taksukadibantah.
3. Perilaku menjadi pendiam, pemalu, atau justru senang berbicara
mengenai kehebatan dirinya di masa lalu, senang menyerang pendapat orang,
mencela, mengkritik, tak mau kalah, dan menunjukkan kemarahan baik dirumah
maupun di tempat umum.
Seseorang yang mengalami post power syndrome biasanya dapat
diketahui dari gejala gejala yang dialaminya. Kartono (2000: 234 ) membagi
gejala post power syndrome menjadi dua yaitu: [5]
1. Gejala Fisik
Gejala fisik yang sering muncul yaitu layu, sayu, lemas, tidak
bergairah dan mudah sakit sakitan
2. Gejala Psikis
Gejala psikis yang sering tampil antara lain ialah apatis, depresi,
semuanya ”serba salah”; tidak pernah merasa puas dan berputus asa, atau tanda tanda
sebaliknya, yaitu menjadi mudah ribut, tidak toleran, cepat tersinggung,
gelisah, gemas, eksplosif mudah meledak meledak, agresif dan suka menyerang
baik dengan kata kata atau ucapan ucapan maupun dengan benda benda dan lain
sebagainya. Bahkan tidak jarang menjadi beringas setengah sadar.
Seniati dkk, (2006: 18) membagi gejala gejala post power
syndrome menjadi tiga tipe yaitu: [6]
1.
Gejala fisik
Tampak lebih tua dibandingkan pada waktu bekerja, rambutnya menjadi
putih semua, berkeriput, pemurung, badannya menjadi lemah dan sakit sakitan
2.
Gejala Psikis
Merasa cepat tersinggung, merasa tidak berharga, menarik diri dari
lingkungan pergaulan, ingin bersembunyi dan lain sebagainya
3.
Gejala Perilaku
Umumnya malu bertemu orang lain, suka melakukan kekerasan atau
menunjukkan kemarahan baik di rumah atau di tempat lain.
Dinsi (2006), membagi gejala-gejala post power syndrome ke
dalam tiga tipe, yaitu: [7]
1. Gejala Fisik
yaitu menjadi jauh lebih cepat tua tampaknya dibandingkan pada waktu dia
menjabat. Rambutnya menjadi putih semua, berkeriput, menjadi pemurung,
sakit-sakitan, dan tubuhnya menjadi lemah, tidak bergairah.
2. Gejala Emosi
yaitu cepat tersinggung, merasa tidak berharga, ingin menarik diri dari
lingkungan pergaulan, ingin bersembunyi dan lain sebagainya.
3. Gejala
Perilaku, yaitu umumnya malu bertemu orang lain, lebih mudah melakukan
pola-pola kekerasan atau menunjukkan kemarahan baik di rumah atau di tempat
yang lain.
Greist
dan Jefferson (dalam Maramis, 1990:766) menyatakan secara garis besar gejala-gejala
post power syndrome adalah depresi, kompensasi yang berlebihan serta
irritabilitas. Depresi dalam post power syndrome adalah gangguan yang
berlangsung cukup lama disertai gejalagejala atau tanda-tanda spesifik yang
secara substansial menganggu kewajaran sikap dan tindakan seseorang atau
menyebabkan kesedihan yang amat dalam. Kehilangan jabatan berarti
perubahan posisi dari yang kuat dan punya kuasa kini merasa lemah dan kehilangan
kuasa. Perubahan ini mengakibatkan perubahan alam pikir (rasio) dan alam
perasaan (afeksi) pada diri yang bersangkutan. Keluhan yang bersifat fisik dan
kejiwaan (cemas atau depresi) itu sifatnya ke dalam, tertutup dan tidak
terbuka, maka akan terlihat pula keluhan psikososial dalam bentuk ucapan atau perilaku
antara lain suka mengkritik, merasa dirinya benar, prasangka buruk curiga,
mencela, skeptis, merasa diperlakukan tidak adil, kecewa, tidak puas, suka
menggerutu dan di ulang-ulang, membesar-besarkan masalah (Hawari, 1997:59). [8]
Beberapa karakteristik gejala post power syndrome antara
lain suasana hati yang buruk terlihat dari wajah selalu murung dan mudah merasa
cemas, merasa harga dirinya rendah (self-esteem rendah), pesimis,
menurunnya minat dalam
segala hal, perilaku yang nampak seperti tubuh lunglai (Maramis, 1990:766).[9]
Gejala post power syndrome memang merupakan gejala
umum yang dialami oleh individu usia lanjut. Tujuan utama dari aktifitas yang ditekuni
oleh individu itu merupakan bagian dari perwujudan dari perilaku kompensasi.
Upaya untuk mengisi kekosongan batin yang sudah kehilangan dukungan nyata,
hingga timbul kepuasan diri dan ditujukan oleh orang lain “bahwa aku masih
seperti yang dulu”.[10]
Beberapa tanda-tanda yang dapat dijadikan indikasi sebagai gejala pps
antara lain sebagai berikut,
a.
Adanya
perubahan fisik secara drastis
Stres yang timbul akibat keputusan pensiun dapat
memcu penuaan secara cepat. Saat memasuki masa pensiun, anda dapat
membandingkan fisik anda dengan rekan anda yang lain yang beurmur sama. jika
dalam jangka waktu cepat anda berubah terlihat menjadi lebih tua dari rekan
anda, bisa jadi hal itu gejala pps. Banyak uban dan kerutan pada wajah secara
tiba-tiba merupakan salah satu ciri perubahan yang alami.[11]
b. Adanya menjadi Pemurung
Orang yang memiliki pps akan merasa jenuh karena tidak bekerja. Selain itu,
ia akan haus pengakuan orang lain terdap kelebihan dan keunggulan atas jabatan
yang dimilikinya. Hal ini tentu akan memicu dirinya untuk selalu berfikir
mencari cara agar bisa beraktivitas seperti dulu dan mengembalikan semua hal
yang dimilikinya. jika mengalami hal
ini, anda akan menjadi murung. [12]
c.
Anda
menjadi cepat emosi dan malu bertemu orang lain
Orang yang mengalami pps akan menganggap dirinya tidak berguna lagi.
berbeda saat masih kerja, dengan jabtannya ia dapat melakukan sesuatu terhadap
perusahaannya dan memrintah bawahannya. Saat pensiun anda tidak dapat
memerintah bawahan anda lagi karena mereka bukan bawahan anda lagi. Hal ini
memicu kemarahan karena anda merasa tidak dihargai lagi. Selain itu,, kebiasaan
itu membuat nad amenjadi mudah marah. Hal ini karena setelah pensiun anda tidak
dituruti lagi oleh orang lain.
jabatan dan kekuasaan semasa bekerja tentu saja menjadi sebuah kebanggan
pribadi anda. Terlebih lagi jika anda adalah orang terpandang karena abatan dna
lingkungan anda. Jika tidak dapat mengendalikan itu akan muncul perasaan minder
dan malu terhadap orang lain. Akibatnya, anda kana menarik diri dari lingkungan
pergaulan.[13]
d.
Anda
mengalami penurunan kesehatan
Penuruanan
kesehatan in sebenarnya merupakan reaksi jasmaniah atas beban pikiran dna
psikologis karena pps. Menurunnya kesehatan membaut anda rentan terhadap
penyakit. [14]
Menurut
Turner dan Helms terdpat beberapa faktor internal penyebab berkembangnya PPS
pada diri seseorang karena kehilangan jabatan yaitu hilangnya harga diri karena
hilangnya jabatan, kehilangan hubungan dengan kelompok eksekutif, kehilangan
perasaan berarti dalma kelompok tertentu, kehilangan orientasi kerja. Keadaan
tersebut mudah sekali menimbulkan berbagai gangguan perasaan seperti
ketidakbahagiaan, stress dan depresi.[15]
Stress[16]
Peristiwa yang memberikan perubahan-perubahan dalam
kehidupan yang berpotensi menimbulkan stresdalam kehidupan disebabkan karena
adanya berbagai perubahan yang membutuhkan usaha penyesuain diri individu. Menurut Cox dan McKay Pengertian stres dalam
dilihat berdsarkan tiga pendekatan, yiatu:
a.
Engineering approach atau the stimulus base yaitu
stress dilihat sebagai stimulus contoh kehilangan pekerjaan.
b.
Medico-Psychological atau the
respone-based dimana stress dilihat sebagai respon yang umum terhadap
stimulus yang membahayakan. respon ada dua komponen yaitu psikologi (kecewa,
sedih, marah dll) dan fisiologis (jantung melemah, tekanan darah meningkat dll)
semaunya karena keputusan terhadap pensiun
c.
Psychological approach atau interactional and
appraisal theories dimana stress dilihat sebagai transaksi antara
individu dan lingkungannya. Contoh marah terhadap lingkungan atau mendekatkan
diri kepada Tuhan menghadapi masa pensiun.
Depresi[17]
Depresi
merupakan keadaan kemurungan (sedih, patah semangat) yang ditandai dengan
perasaan tidak puas, menurunya kegiatan, dnapesimis menghadapi masa yang akan
datang. Menurut American Assocoation for Geriatric Psychiatry, AAGP, 1996
sindroma depresi paling sedikit selama dua minggu individu memperlihatkan
kesedihan yang sangat berat dankehilanagn minat dna kesenangan lainnya. Somtom
tersebut meliputi perubahan berat badan, kesulitan tidur, merasa tidak berharga
atau merasa tidak pantas, penurunan daya ingat, ketidakmampuan untuk
berkonsentrasi, dan memiliki pikiran untuk mati dna bunuh diri.
Episode depresif[18]
Gejala utama (pada derat ringan, sedang, dan berat)
-afektif depresif
-khilangan minat dan kegembiraan
-berkurangnya energi yang menuju meningkatknya keadaan
mudah lelah
Gejala lainnya
a.
konsentrasi dan perhatian
bekurang
b.
harga diri dan kepercaya
diri berkurang
c.
gagasan tentang rasa
bersalah dan tidak berguna
d.
pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
e.
gagasan atau perbuatan
membahayakan diri atau bunuh diri
f.
nafsu makan berkurang
[1]
RN Istiqomah, digilib.uinsby.ac.id/9984/10/BAB%20II.pdf, 2012. hlm. 2 diakses (21 April 2016)
[2]
ibid.,hlm.3
[3]
Ibid.,
[4]
Siti Irene astute D, staff.uny.ac.id/sites/.../1_ILUSTRASI%20PPS.pdf, 2010, hlm. 9. diakses (21 april 2016)
[5] Fandy
Ahmad, Pengaruh Optimisme Menghadapi masa pensiun terhadap post power
syndrome pada anggota badan pembina pensiunan pegawai (bp3) pelindo
semarang (SKRIPSI), Semarang, 2013. hlm.
31.
[6]
Ibid., hlm 32.
[7] Yuli Handayani, Post Power Syndrome pada Pegawai Negeri Sipil
yang Mengalami Masa Pensiun, Gunadarma, 2012. hlm. 3.
[8] RN
Istiqomah, digilib.uinsby.ac.id/9984/10/BAB%20II.pdf, 2012. hlm. 9 diakses (21 April 2016)
[9]
Ibid., 9
[10]
ibid., hlm. 10.
[11]
Joanes Wijdjajanto, PHK dan Pensiun Siapa Takut?, Jakarta: Penerbar swadaya,
2009. hlm.52
[12]
ibid., hlm.53
[13]
ibid., hlm.54
[14]
ibid., hlm.55
[15]
The First LSPR Comuniction Research Conference 2010. Beyond Border:
Communication Modernity & History,
London school. Public Realition Jakarta. hlm. 299
[16]
Ibid., hlm. 299
[17]
ibid., hlm. 300
[18]
Rusdi Maslim, Diagnos Gg, Jiwa, rujukan ringkas PPDGJ-III dan DSM-5, Jakarta:
bagian ilmu kedokteran FK-Unika Atmaja. 2013. hlm 64.